Pondok Ilmu Pengetahuan

Sunday, November 30, 2014

TATA KOTA



BELAJAR TATA KOTA DARI SEOUL


Kita tidak pernah menyadari kondisi kota, kecuali jika telah membandingkan dengan kota lain. Ini seperti halnya ketika anda berpetualang ke berbagai kota di sejumlah negara. Akan telihat, betapa tata kota di Indonesia belum mendekati sempurna. Misalnya ketika melirik Seoul, Korea Selatan.

Menyusuri ruas jalan di Seoul sungguh menyenangkan, baik di area jalan raya maupun pedestrian. Hampir seluruh ruas jalan raya di Seoul berlapis aspal yang halus. tidak tampak jalan yang belubang ataupun tidak rata. yang kita temui di Indonesia.

Ruas jalan utamapun umumnya cukup lapang, Layaknya jalan tol di Indonesia. Jalan raya di Seoul dibedakan antara bus dan kendaraan pribadi. Pembatasnya berupa garis putih putus putus di sepanjang jalan. Jadi jangan heran bila melihat banyak garis putus putus di sekita Seoul karena hampir setiap ruas jalan dilalui Bus umum.

Menariknya, meskipun tanpa pembatas jalan permanen dan hanya garis putih, tidak ada yang meyerobot jalur bus. Bandingkan dengan Akses bus Trans Jakarta di Jakarta dengan adanya pembatas berupa semen permanen namun kerap diserpbpt pengendara sepeda motor, mobil, dan bus umum. 

Seoul bukanlah kota yang terbebas dari kemacetan. Kemacetan juga menjadi masalah tersendiri. Namun , Umumya kemacetan terjadi di waktu waktu etertentu seperti di jam Masuk kantor dan jam pulang kantor atau saat akhir pekan. Kemacetan terjadi karena banyaknya pengendara mobil pribadi di seoul. Penduduk Seoul rata rata tidak menyukai sepeda motor. 

Sepeda Motor kebanyakan hanya untuk layanan antar makanan dan barang. Orang Korea lebih bangga bisa bisa memiliki mobil sendiri. 

Namun, kemacetan di Seoul tidak separah di Jakarta. Ini karena jumlah penduduk di Seoul jauh lebih sedikit dibandingkan di Jakarta. Selain itum Transportasi umum di Seoul juga terintegrasi dengna baik. Selain bus, tersedia MRT atau kereta subway yang memudahkan warga Seoul berpergian dari satu daerah ke daerah lainnya. 

Warga Seoulpun memiliki pilihan lain untuk berpergian selain menggunakan mobil pribadi.

Jalur pedestrian yang lapang juga tersedia di berbagai sudut kota. Jalur pedestrian ini rata rata bersih dan rapi. Bukan berarti tidak ada pedagang kaki lima, pedagang kaki lima di Seoul tetap ada, tetapi tidak terlalu banyak. Warga Seoul terbilang sangat memperhatikan kebersihan dan kerapihan. Tidka mengherankan pusat kota nyaman karena bersih dan rapi.

Tempat sampah memang terbilang jarang. Namun, terlihat warga Seoul bukanlah orang orang yang gemar jajan dan kerap menggunakan kantong plastic. Hasilnya, meskipun tidka tersedia tempat sampah, nyaris tidak ada sampah plastic pembungkus makanan yang menumpuk di sudut sudut kota.

Tatanan gedung perkantoran di Seoul juga rapi. Masyarakat Korea Selatan memang cukup teliti dalam melihat detal, termasuk dalam penataan kora. Gedung perkantoran berjajar rapi. 

Demikitan pula dengna kawasan pertokoan yang juga tertata dengna baik. apabila membaca peta kota Seoul, tidak akan merasa kesulitan dalam mencari lokasi. 

Setelah melihat kota di negara lain, barang kali kita merasa kota sendiri terasa buruk. Kotor, kumuh, tidak teratur, atau bahkan sumpek.

Namun masih ada perbaikan. Melihat upaya yang dilakukan Wali Kota Ridwan Kamil dan Wali kota Surabaya Rismaharini dalam menata kota didaerahnya. ini berarti ada titik cerah di Indoensia dalam perbaikan tata kota.

Selayaknya kita tidak mengantungkan penataan kota pada 1 -2 kepala daerah tertentu. Akan tetapi , biarlah mereka menjadi inspirasi dalam memunculkan kepala daerah lain yang melakukan penataan kota lebih baik lagi. 

Mari mulai dari Diri sendiri untuk Lebih penduli dengan lingkungan. Kebersihan lingkungan cermin kecerdasan masyarakat. Semakin masyarakat menjaga kebersihan lingkungan, semakin nyaman dan identik dengan masyarakat yang maju.

Karena dalam Hadist Nabi “Kebersihan adalah sebagian dari Iman. Orang yang beriman adalah orang yang mampu berfikir dan peka dengan  keadaan lingkungan. dari membersihan lingkungan rumah kita sendiri dan menjaga kebersihan badan, agar terhindar dari berbagai macam penyakit.

Sumber : Kompas

INDUSTRI

INDUSTRI
PANGAN 2.0


Lembah Silikon di California, Amerika Serikat, selalu identik dengan teknologi digital. Akan tetapi, dalam waktu dekat mungkin lembah ini tidak lagi hanya berurusan dengan teknologi digital. Panganpun, tepatnya pangan untuk masa depan atau dikenal dengan nama pangan 2.0, kini dirintis dan diproduksi di tempat ini.

Beberapa pekan lalu usaha rintisan pangan masa depan yang berada di Lembah Silikon muncul di berbagai media. Salah satunya Koran Financial Time edisi akhir pekan. Contoh rintisan usaha itu antara lain Imposible Foods, Hampton Creek, dan Soylent.

Imposible Foods didirikan Pat Brown memamerkan makanan buatannya. Salah satunya yang ditampilkan adalah burger yang dibuat dari berbagai sayuran. Seluruh Proses pembuatan burger masih dirahasiakan karena sangat mungkin terkait Hak Cipta dan Paten.

Dalam Video yang ditampilkan, Sayuran dimasukkan ke dalam sebuah mesin. Kemudian dalam sesi berikutnya terlihat daging yang digunakan untuk burger. Pat sebagai pemilik Imposible Foods tidak membuat daging alternative, tetapi menyatakan , Imposible Foods membuat daging dengan cara yang lebih baik.

Alasan pembuatan daging tanpa hewan ini adalah betapa mahalnya pembentukan sel daging hewan, mulai penggadaan pakan, pembiakan hewan, pertumbuhan hewan, hingga pemotongan hewan itu. Dalam rantai ini dibutuhkan banyak energy yang terbuang. Di sisi lain, Harga daging dinilai masih mahal. Burger ini hanyalah salah satu produk pangan 2.0.

Loncatan permikiran pemikiran ini sudah menarik kalangan Investor. Sperti di Indonesia, perbankan di Amerika Serikat tak bisa diharapkan mendanai pemikiran gila dan realisasi proyek ini. Mereka mengandalkan investor langsung ataupun modal ventura.

Berbagai investor telah memasok dana hingga 75 juta dollar AS untuk Imposible Foods ini. Hampton Creek berhasil memikat sejumlah investor terkenal untuk menyediakan dana 30 juta dollar AS bagi riset pangan masa depan, sedangkan Soylent mendapatkan dana 1,5 juta dollar AS.
Tentu saja minat investor terhadap rintisan usaha ini mengagetkan beberapa kalanan karena sejak beberapa tahun lalu investor ogah mendanai ide ide seperti itu karena proyek bioteknologi cenderung membutuhkan dana yang besar di awal dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menangguk hasil. Itu pun kalau berhasil.

Salah satu alasan rintisan usaha pangan tersebut memilih lokasi di Lembah Silikon karena lingkungan bagi usaha rintisan sangat mendukung. Slema ini sistem ini banyak dinikmasi perintis usaha di bidang teknologi digital. Sistem di tempat itu sangat memusahkan perintis usaha untuk mencari incubator, partner, pembiayaan, kompetisi dan pembelian hasil karya mereka serta berbagi ilmu.

Rintisan usaha pangan masa depan ini ingin ikut menangguk dana besar dari kapitalisme di Lembah Silikon. Bahkan , mereka tengah ancang ancang untuk menggantikan teknologi digital yang menjadi focus utama Lebah Silikon. Mereka yakin suatu saat industry pangan masa depan itu akan menjadi mercusuar Lembah Silikon itu. Mereka beralasan ledakan penduduk pada masa depan membutuhkan penyelesaian dalam produksi pangan. Tanpa Inovasi, miliatan penduduk akan mati kelapanan dan mati pada masa depan.

Menengok ke Tanah Air, sepertinya kita juga membutuhkan loncatan besar untuk menyiapkan pangan 2.0. Pemerintah seharusnya bekerja keras agar Indonesia bisa swasembada pangan sendiri. Akan tetapi dengna melihat fenomena di Lembah Silikon itu. Kita perlu bekerja lebih keras lagi untuk menyiapkan pangan masa depan. Hal ini menantang kita semua.

Sumber : Kompas

Thursday, November 27, 2014

PARIWISATA



Pariwisata
Belajar dari Tetangga menjaring Wisatawan


Singapura merupakan salah satu negara terdepan untuk urusan industry pariwisata, terutama di bidang meeting incentive, conventions, exhibition (MICE). Hal ini menimbulkan rasa penasaran mengapa negara itu bisa menjadi pemimpin industry pariwisata? Apa yang mereka miliki? mereka tidak punya gunung tinggi yang selalu berkabut. Mereka tidak punya air terjun, danau yang membiru, dan sebagainya. Akan tetapi kenapa banyak orang yang datang kesana?

Singapura memang tidak punya kekayaan alam. Mereka sadar, hanya sector jasa mereka bisa mendapatkan devisa. Singapura ingin megarap bidang pariwisata yang juga bisa mendatangkan devisa besar. Namun pariwisata yang berkaitan dengan MICE yang harus digarap, bukan wisata alam.

Fokus pada MICE merupakan pilihan cerdik. Uang yang dibelanjakan wisatawan MICE bisa tiga kali lipat dibandingkan pelancong biasa. Mnurut Singapore Tourism Board, jumpah kunjungan wisatawan internasional ke Singapura pada tahun 2013 mencapai 15, 6 juta, naik 7,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah pembelanjaan turis mancanegara ini mencapai 23,5 miliar dollar AS, atau naik 1,7 persen dibandingkan tahun 2012.

Sekarang, bandingkan dengan jumlah wisatawan manca negara ynag mengunjungi Indonesia. Indonesia mempunyai kekayaaan alam yang melimpah ruah. mulai dari laut, gunung, danau, lembah, dsb. Pda tahun 2013 wisatawan asing yang ke Indoensia mencapai 8,8 juta orang atau tumbuh 9,42 persen dibandingkan tahun 2012. Jumlah devisa yang dihasilkan 10,5 miliar dollar AS.

Menilik Perbandingan itu, Pertanyaannya berikutny mengemuka. Jika Singapura tidka mempunyai kekayaan alam dan budaya local, Apa yang membuat Singapura Maju dalam pariwisata, terutama MICE?

Pada tahun 2013, Singapura kedatangan 3,5 juta pengunjung bisnis. Mereka menghabiskan 4,4 miliar dollar. Saat itu, Singapura menggadakan 12 kongres tingkat dunia dan beberapa pertemuan penting.

Yang juga menguntungkan, Singapura merupakan pusat perdagangan global dan pemasaran untuk asia Pasifik dan dunia. Singapura juga menjadi kantor regipnal sejumlah perusahaan global, termasuk bank dan keuangan. Tak kalah penting, Singapura juga menjadi pusat pengetahuan, inovasi, penelitian dan pengembangan untuk biomedical, energy dan lingkungan, transportasi dna keamanan. Setidaknya, ada 7000 persahaan multinasional di negara itu. Dengan menjadi pusat bisni ini, akan banyak orang berpergian ke Singapura untuk urusan bisnis.

Singapura memang sangat diuntungkan dengna kondisi ini. Namun, bukan berarti Singapura tidak melakukan apapun. Setiap kali kita berpergian ke Singapura, setiap kali pula ada perubahan disaman.

Disini kunci keberhasilan menjadi pusat MICE. Sarana MICE tersedia, acara terus menerus diciptakan, bahkah dikemas dengna destinasi destinasi wisata. Dengna demikian, kendati sudah pernah ke Singapura, siapappun akan senang datang lagi karena ada sesuatu yang baru. Kita bisa mencontohnya, bahkan melampaui prestasi Singapura. Asalkan kita mau bekerja keras. Membenahi tempat tempat wisata, terus menciptakan acara agar orang mau datang, serta tentunya menjaga agar kota dan daerah kita nyaman dan aman untuk dikunjungi wisatawan asing. 

Sumber : Kompas

PENDIDIKAN



Pendidikan dan Rantai Kemiskinan
Oleh Rhenald Kasali


Kisah anak anak dari keluarga kurang mampu yang berhasil menembus perguruan tinggi sering kita dengar

Seperti dialami Raeni, anak tukang becak yang meraih IPK 3,96 di Universitas Negeri Semarang. Ia bahkan mendapatkan tawaran kuliah S2  ke Inggris.

Setiap kali ke daerah pertanian, saya sering menemukan perani yang melakukan segala upaya agar anak anaknya jangan lagi jadi petani, dengan menyekolahkan anaknya menjadi sarjana.

Namun, sukseskah mereka memutus mata rantai kemiskinan? Bukankah pada statutannya kini PTN BH wajib memberikan beasiswa 20 persen untuk kalanangan kurang mampu ?

Aliran Kognitif

Kesadaran afirmatif, memberik akses pendidikan seperti di atas bukan hanya ada disini. Harusnya kita percaya sekolah bisa menjadi anak tangga yang bagus untuk memutus mata rantai kemiskinan. Pendapat umum mengatakan keluarga miskin melahirkan generasi generasi yang sama miskinnnya karena ketiadaan akses untuk mencapai pendidikan yang tinggi.

Pola begini : seorang anak lahir dari ibu yang menikah di usia dini, lalu bercerai, ibu harus bekerja keras, pindah dari kota ke kota lainnya. Kadang tinggal bersama nenek, menumpang hidup di kawasan yang padat. Anak pergi sekolah dengan perut lapar, sementara teman teman ikut les kumon atau dari guru sekolah. Lalu iapun bosan dengan sekolah, sering tak masuk, prestasi terpuruk, terlibat perkelahian, drop out, punya anak di luar nikah, lalu jatuh miskin lagi. begitu seterusnya.

Mungkin jika diberi gizi perhatian, akses agar bisa sekolah lagi, mereka akan bisa keluar dari mata rantai kemiskinan. 

Namun, penerima Nobel Ekonomi thaun 2000, James Heckman, menggelengkan kepalanya. Faktanya, hanya 3 persen yang bisa menamatkan perguruan tinggi. Padahal, anak anak dari keluarga biasa mencapai 46 persen. Demikian juga kemampuan memperbaiki ekonomi keluarga: pendapatan tahunan, pengangguran, angka perceraian, dan keterlibatan dalam kriminalitas. Prestasi ekonomi keluarga miskin yang mendapatkan program afirmasi pendidikan ternyata tetap sama dengan anak anak yang drop out dari sekolah. Apa sebab?

Tahun 1994 dua ilmuwan yang dituding rasis (Muray dan Herrnstein, dalam Bell Curve) megarahkan temuannya pada masalah DNA. Namun, berdasarkan kajian ekonometrika, Heckman menemukan masalahnya ada di sekolah itu sendiri. Sekola sekolah yang sering kita lihat terlalu kognitif dan membebani. yak mampu memutus rantai kemiskinan. Sekolah kognitif terlampau mekanisti. Wajar sekorang kita menyaksikan banyak sarjana menganggur, bahkan ada yang sudah bekerja kurang efektif. Padahal, mereka tak kalah pengetahuan, indeks prestasi mereka kini bagus bagus. Cenderung kalah dengan lulusan luar negeri yang hanya menempuh 124 SKS ( S1). Sementara sarjana kita menempu 144 – 152 SKS.

Sekolah nonkognitif

Heckman menemukan variabel variabel nonkognitif yang justru tak diberikan di sekolah menjadi penentu keberhasilan seorang untuk memutus mata rantai kemiskinan. Variabel itu adalah keterampilan meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai kemampuan mengelola daya tahan (presistensi), menghadapi tekanan, menunda kenikmaran, ketekunan menghadapi kejenuhan dan kecenderungan untuk menjalankan rencana.

Nah keterampilan keterampilan seperti itu, menurut Heckman sering kali absen dalam sekolah kognitif. Tanpa itu, anak anak yang dibesarkan dari keluarga menengah ke ataspun akan jatuh pada lembah kemiskinan. Sekolah kognitif sendiri digemari banyak kalangan kelas menengah karena subtitusi atau penguatnya bisa dibeli di “pasa” m semisal Kumon, guru les atau orang tua rajin memberi latihan. Namun anak anak dari kalangan kurang mampu punya banyak keterbatasan. Selain orang tuanya tidak mengerti, mereka juga harus bekerja keras mencari nafkah di luar jam kerja.

“Ilmu ilmu tertantu itu, seperti kalkulus, sangat mekanistik” kata Paul Togh (How Children succed, 2012) “Kalau mulai lebih dulu dan banyak berlatih, mereka akan cepat menyelesaikan soal soalnya. Namun, aspek aspek non kognitif tak bisa didapatkan dengan mudah.” 

Kebiasaan orang tua yang merupakan cermin dari buruknya aspek non kognitif tadi menjadi penguat rantai kemiskinan di setiap generasi berikutnya.

Bimbingan dan metode non kognitif harus dibangun sedari dini. tantangan tantangan non kognitif seperti itu tampaknya berat sekali dibangin. mengingat dua – tiga genarasi pendidik guru dan dosen kognitif rewel dengan kemampuan menghafal, berhitung atau memindahkan buku ke kertas.

Kita Percaya pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan. Namun, bukan pendidikan superkognitif seperti sering kita dengar dari orang orang yang gemar mendebatkan Cuma soal kali kalian, padahal persoalan hidup terbesar justru ada di soal bagi bagian. Dan untuk adil membagi dibutuhkan kerampilan hidup non kognitif.

Sumber : Kompas