Pondok Ilmu Pengetahuan

Monday, March 02, 2015

NARASI TOKOH



NARASI

SELAMATKAN  INDONESIA

Oleh: M. Iqbal, M.Si.


Dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, di tengah derita penjajahan asing yang tidak pernah membuat kemajuan yang sesungguhnya, tibalah 20 Mei 1908, suatu momentum awal untuk selamatkan Indonesia. Putra putri terbaik bangsa terpanggil untuk mulai memikirkan kebangkitan bangsa ini, yang kemudian kita kenal sebagai Hari kebangkitan Nasional. Dari semangat dan kekuatan kebangkitan nasional yang pertama itu, lahirlah perjuangan panjang untuk meraih kemerdekaan sebagai langkah pertama selamatkan Indonesia (SUARA PROKLAMASI & INDONESIA RAYA 1 MENIT)

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, dengan cermat mencantumkan CITA-CITA BERNEGARA dari bangsa yang baru menyatakan proklamasinya tersebut: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”

            Untuk mencapai cita-cita bernegara, bangsa Indonesia dikaruniai modal dasar pembangunan berupa penduduk yang Bhinneka dari Sabang sampai Merauke, namun menjadi Tunggal Ika oleh perekat Pancasila, Indonesia Raya, serta Sang Saka Merah Putih. (MASUK LAGU INDONESIA RAYA SEDIKIT) Dan tentunya karunia tak terhingga lainnya berupa nusantara yang kaya raya dengan hasil laut, subur untuk pertanian, dan berlimpah ruah sumber minyak serta hasil tambang.

            Cadangan minyak bumi Indonesia mencapai sekitar 8,6 miliar barel dengan tingkat produksi kurang-lebih 400 juta barel per tahun. Sementara cadangan gas bumi mencapai sekitar 185,8 triliun kaki kubik dengan tingkat produksi kurang lebih 3 triliun kaki kubik per tahun. Negeri ini dipenuhi dengan sebaran sumber daya batu bara, mineral logam utama, serta mineral industri. Ibu Pertiwi mengandung timah, bijih nikel, tembaga, emas primer, perak, pasir besi, bauksit, mangan, batubara, panas bumi, yang semuanya berada di peringkat 2 hingga 9 besar dari seluruh dunia!

            Lalu apa yang terjadi setelah satu abad kebangkitan nasional? Indonesia kini memiliki hutang 148 milyar dollar! Jumlah penduduk miskin anak bangsa ini mencapai 39,05 juta jiwa, menurut data BPS, atau sekitar 17,75 %. Itu, jika garis kemiskinan 153 ribu rupiah per kapita per bulan. Jika garis kemiskinan dinyatakan sekitar 540 ribu rupiah per kapita per bulan sesuai standar Bank Dunia, maka jumlah anak bangsa yang terperangkap kemiskinan mencapai 109 juta jiwa atau 49,5 persen atau nyaris setengahnya!

            Sementara itu jumlah pengangguran terbuka mencapai sekitar 12 juta orang dan mereka yang tergolong setengah pengangguran hampir 30 juta jiwa! Menurut penuturan Menteri Kesehatan, 4,1 juta bayi atau 20 % menderita gizi kurang dan 8 % di antaranya menderita gizi buruk (tidak usah dibaca: sumber: Seputar Indonesia, 10/3/08).  

Bagaimana nasib anak Indonesia yang ingin menikmati pendidikan sebagai syarat kebangkitan bangsanya? Data dari Depdiknas sebagai hasil Rembugnas Pendidikan Juni 2007 menunjukkan, pada 2003 ada 531.186 ruang kelas yang rusak. Dari jumlah itu, 360.219 ruang sudah diperbaiki. Sisanya 170.967 akan diperbaiki sebagai program 2008. Di ibu kota saja, dari 2552 SD dan SMP, 437 di antaranya rusak total (tidak usah dibaca: sumber: Kompas, 02/05/08). Dari 437 tersebut, hanya 22 yang bisa direhab total dengan APBD DKI Jakarta 2008, sisanya terpaksa disegel karena membahayakan siswa (tidak usaha dibaca: sumber: Media Indonesia, 26/02/08).

Bagaimana dengan infrastruktur? Ambil contoh saja jalan nasional, dari total panjang jalan nasional saat ini 34.628 km, 2.770 km di antaranya rusak ringan dan 3.844 km dalam kondisi rusak berat. Akibatnya, bukan hanya kerugian ekonomi yang bisa mencapai puluhan miliar rupiah dan tersendatnya mobilitas sosial, melainkan banyak jiwa yang harus melayang!  Data YLKI menyebutkan selama Januari-Maret 2008, tidak kurang dari 35 orang tewas di Jakarta. Sedangkan dari total korban lalu lintas secara nasional yang mencapai 30 ribu jiwa per tahun, 3.000 orang di antaranya meninggal akibat kondisi jalan rusak (tidak usah dibaca, sumber: Media Indonesia, 6/05/08).

Kenapa nasib pedih ini menimpa bangsa yang dikaruniai berlimpah ruah kekayaan alam, dan telah pula menyatakan kebangkitan nasional satu abad lalu?

Ternyata, dari 1 juta barel produksi minyak nasional per hari, hanya 70 ribu barel yang diproduksi pertamina, 75 ribu produksi Medco, sisanya 855 ribu barel per hari di tangan produsen asing! 90 persen dari Kontrak Kerjasama Produksi dikuasai asing! Lebih hancur lagi, sektor pertambangan tembaga dan emas, sudah hampir 100 % dikuasai asing.

Contoh yang fenomenal dan nyaris tak dapat diterima akal sehat, tapi masih berlangsung sampai detik ini, adalah Freeport!  Ini adalah tambang mineral terbesar yang menguras 300 ribu ton bijih per hari, sekaligus menghancurkan ekosistem 3 sungai besar dan Laur Arafura. Padahal royalti yang diterima dari penjualan bersih tergolong SANGAT SANGAT KECIL yaitu 1 hingga 3,5 persen untuk konsentrat tembaga dan 1 persen fixed untuk emas dan perak! Lebih gila lagi, iuran tetap untuk wilayah pertambangan hanya berkisar 225 rupiahh sampai 27 ribu rupiah per hektar per tahun! SANGAT  JAUH LEBIH RENDAH DIBANDINGKAN DENGAN SEWA LAHAN SAWAH OLEH PETANI PENGGARAP TERMURAH SEKALIPUN!

Kebodohan ini berjalan terus, seiring jatuhnya wilayah-wilayah migas yang sangat potensial kepada pihak-pihak asing. Contoh terkini adalah Blok Cepu. Dengan cadangan minyak minimal 600 juta barel dan 2 triliun kaki kubik gas, maka pada harga minyak 60 dolar per barel dan gas 3 dolar per MMBTU, nilainya sekitar 387 triliun rupiah. Seandainya Blok Cepu sepenuhnya dikuasakan kepada Pertamina untuk mengelolanya, dengan asumsi harga minyak 90 dolar per barel dan harga gas 15 dolar per MMBTU, maka nilai Blok Cepu dapat mencapai 576 triliun rupiah. Apalagi jika harga minyak terus naik di atas angka 100 atau 110 dolar per barel seperti yang terjadi belakangan ini.

Lihat pula kontrak penjualan LNG Tangguh ke Fujian China sebesar 2,6 juta ton per tahun dengan harga 3, 35 dolar per MMBTU selama 25 tahun yang sesungguhnya merugikan bangsa ini sekitar 350 triliun rupiah. Belum lagi, kontrak bagi hasil Natuna Blok D-Alpha dengan porsi bagi hasil sebelum pajak 100 persen untuk Exxon Mobil dan 0 % untuk pemerintah! Artinya pemerintah sama sekali tidak mempunyai hak atas hasil produksi gas secara fisik karena pemerintah hanya akan mendapatkan penerimaan dari pajak saja! Ini sekaligus bahaya karena jaminan pasokan gas dalam negeri dari Natuna Blok D-Alpha tidak ada sama sekali.

Bagaimana dengan nasib hutan Indonesia? Kantor Berita Reuters menyebutkan bahwa 72 persen hutan Indonesia telah musnah, sementara setengah dari sisanya terancam punah karena pembalakan komersial, yang mungkin saja istilah lain dari illegal logging, juga akibat kebakaran hutan dan penggundulan untuk perkebunan sawit. Guiness Book of Records tahun 2008 menyebutkan: Indonesia memegang kejuaraan dunia penggundulan hutan. Sedangkan Greenpeace menyatakan selama 2000-2005, Indonesia merupakan negara tercepat dalam menggunduli hutannya. Setiap jam, hutan seluas 300 kali lapangan sepakbola amblas untuk selama-lamanya. Kecepatan ini sekarang pasti menurun, karena hutan yang tersisa tinggal sedikit, sudah tidak memungkinkan kenduri besar lagi.

Kenapa Undang-Undang dan Peraturan tidak mampu mencegah dan menjaga harta kekayaan Ibu Pertiwi? Justru yang terjadi adalah sebaliknya, beberapa Undang-Undang dan Peraturan malah cenderung menjual negara. Misalnya Undang-Undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 7, serta Peraturan Presiden No 77 Tahun 2007. Bahkan kini ada 44 BUMN strategis yang akan dijual!

Akhirnya, apa kabar segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia? Sekitar 46,8 persen muatan laut dalam negeri dikuasai oleh kapal berbendera asing. Bahkan 96,6 persen muatan angkutan laut diambil kapal asing!

Mungkin, para politisi bisa mengatakan itulah semuanya hasil dari investasi internasional atau manfaat dari pergaulan global. Tapi jika memang demikian, kenapa di dalam lubuk hati anak bangsa yang jujur justru terdengar tangisan Ibu Pertiwi? Kenapa setelah 100 tahun kebangkitan nasional, air mata Ibu Pertiwi malah terus berlinang? Ibu Pertiwi yang dulu kaya raya untuk membesarkan anak-anak bangsa yang dicintainya, kini sedang susah, merintih dan berdoa. Padahal sesungguhnya pada lanjutan lagu tersebut, yang anehnya jarang dinyanyikan sampai selesai, terdapat jawaban dari doa Ibu Pertiwi. Ya, akan tiba suatu masa di mana putra-putrinya yang berhati tulus akan berkata: lihatlah Ibu Pertiwi, kami datang berbakti, untuk menggembirakan Ibu! Karena kami tetap cinta Ibu dan selalu setia, maka kami akan bangkit menjaga harta pusaka untuk nusa dan bangsa! Ibu Pertiwi, sekarang menggelegar ke udara: teriakan dan kepal putra-putri Ibu untuk SELAMATKAN INDONESIA!