BANGKIT DARI NARKOBA
Dulu Pecandu,
Kini Konselor
"Sekian tahun di jalanan, hidup gue berat di jalanan, lalu gue bangkit dan dapat kemudahan. Gue sujud sama Allah dan minta maaf sama ortu”
Jumat, 06 April 2018
“Halo… selamat datang, Bro,” sapa Aldi Novrudi dengan ramah saat menyambut timdetikX, yang berkunjung ke Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional di kawasan Lido, Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu, 28 Maret 2018.
Awalnya agak canggung mendengar sapaan ‘bro’ alias ‘brother’ itu. Maklum, baru pertama kalinya kami berkenalan dengan Aldi. Tapi, jangan salah, sapaan ‘bro’ itu ternyata menjadi istilah wajib di lingkungan Balai Besar Rehabilitasi BNN. Begitu juga sapaan ‘sis’ alias ‘sister’ untuk memanggil perempuan.
Bukan hanya di antara sesama petugas, tapi juga antara petugas dan para pecandu atau korban penyalahgunaan narkoba yang tengah direhabilitasi di tempat tersebut (residen). “Panggilan ‘bro’ atau ‘sis’ ini biar akrab saja. Biar komunikasi dengan residen lebih cair dan akrab serta biar nggak ada jarak,” ujar Bro Aldi, konselor yang menjadi penanggung jawab Program Rehabilitasi.
Saat ini ada 446 residen dari berbagai daerah di Indonesia yang tengah menjalani pemulihan secara medis dan sosial untuk melepaskan ketergantungan terhadap narkoba. Mereka tengah direhab oleh 181 orang petugas, yang terdiri atas 90 petugas medis dan 91 petugas sosial.
Yang menarik, dari jumlah petugas sosial sebanyak 91 orang itu, 39 orang di antaranya merupakan mantan pecandu narkoba (recovery addict), termasuk Aldi. Ia bertugas di Balai Besar Rehabilitasi BNN sejak balai itu beroperasi pada 2007.
Aldi sampai hari ini masih tak menyangka arah hidupnya bisa berubah drastis. Bahkan kisah hidupnya yang puluhan tahun tenggelam dalam gelapnya bahaya narkoba menjadi inspirasi bagi residen lainnya untuk sembuh total.
Perjalanan hidup pria kelahiran 1980 ini sebelum menjadi konselor sangat kelam. Aldi mengisahkan perkenalan dengan narkoba dimulai saat ia duduk di bangku kelas IV sekolah dasar. Aldi, yang kerap bergaul dengan teman-teman yang lebih tua umurnya di lingkungan rumahnya, mulai terpengaruh narkoba dari mengisap rokok. “Gue mulai makai itu kelas IV SD. Itu obat-obatan yang namanya Nipam, Metadon, Boti, dan lain-lain,” ujar pria 37 tahun ini.
Pada saat yang sama, orang tuanya di ambang perceraian. Aldi tak mempersoalkan kedua orang tuanya yang akan bercerai. Yang menjadi pemicu keterlibatannya dalam narkoba adalah kurangnya pengawasan orang tua terhadapnya. “Mereka lengah memonitor perkembangan. Jadi, yaudah, gue nongkrong sama siapa, kenal sama siapa, itu nggak dimonitor. Udah gitu, di keluarga ada yang minum alkohol,” tuturnya.
Aldi kecil pun akhirnya suka curi-curi menenggak minuman. Ia juga menjadi perokok aktif. Setiap kali diberi uang jajan ia belikan sebatang rokok. "Sekarang, ngelihat anak SD ngerokok, gue sebel banget! Padahal gue dulu juga begitu, ha-ha-ha…,” ucapnya.
Walau begitu, saat itu prestasi akademik di sekolahnya sejak SD sampai SMP tetap bagus. Sayangnya, budaya pergaulan di SMP ternyata sangat buruk. Aldi pun mulai mengisap ganja. Prestasi belajarnya menurun hingga kelas III SMP seiring ia mulai mengkonsumsi putau.
“Dragon, segala macam. Main sama anak SMA, bukan sama anak SMP. Dulu waktu main sama anak SMP kan salingnunjukin kehebatan, juga sering tawuran, eksistensi, mencari jati diri, begitu,” ujarnya.
Lulus SMP, Aldi remaja masuk SMA. Saat itu ia mulai berpacaran, yang ternyata sang pacar sudah lama mengkonsumsi narkoba juga. Bahkan saat itu pacarnya lebih parah dalam mengkonsumsi narkoba. Akhirnya dia mencoba mengimbangi pacarnya itu memakai narkoba. Saat itulah Aldi remaja mulai jarang masuk sekolah, sering berbohong, dan sering mencuri barang-barang di rumah. Pada 1996, saat usianya menginjak 16 tahun, Aldi mulai rutin mengkonsumsi sabu dan putau.
Tak aneh kemudian sekolah SMA-nya kacau-balau. Bahkan ia keluar-masuk delapan SMA di Jakarta. Ia kerap membeli putau atau heroin seharga Rp 250 ribu per gram. Karena Aldi semakin parah, keluarga lalu membawanya ke psikiater, psikolog, dan sempat mengirimnya untuk detoksifikasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO). Tapi, begitu pulang, Aldi memakai narkoba lagi.
Aldi sempat dimasukkan ke pondok pesantren. Tapi, begitu pulang ke rumah, kembali ia mengkonsumsi narkoba. Sampai usianya menginjak 18 tahun, keluarga Aldi menyerah dan kehilangan kesabaran. Aldi pun diusir dari rumah.
Saat itulah dia hidup di jalanan, menumpang tidur di rumah sejumlah teman. Pernah menjadi tukang parkir, ‘Pak Ogah’, dan mengamen demi mendapatkan uang buat membeli narkoba. Bahkan sempat dia nekat mencuri dan membobol sebuah rumah. Juga mencuri sepeda, jemuran, sampai binatang peliharaan pun dicuri untuk dijual ke lapo.
Pada 1998, ia nyaris kehilangan nyawa ketika bersama teman-temannya mencopet di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Gara-gara ketahuan saat mencopet, Aldi bersama 15 anggota geng Palembang ditangkap dan dipukuli massa, bahkan sempat disiram bensin. Tapi polisi keburu datang untuk menangkapnya. Aldi pun akhirnya merasakan dingingnya sel tahanan polisi selama empat bulan. "Pernah nyobapulang ke rumah pas Lebaran. Eh, bokap langsung nelepon polisi,” kata Aldi.
Kembali ke jalan, Aldi mencoba menjadi pengedar narkoba dari seorang bandar yang dikenalnya selama di dalam penjara. Satu-dua bulan usaha mengedarkan narkoba berjalan lancar. Tapi lama-kelamaan, bukannya berjualan, Aldi malah mengkonsumsi sendiri barang haram itu. Akhirnya Aldi pun dicari dan ditangkap anak buah bandar narkoba itu.
Ia dipukuli sampai terkapar dan badannya dibuang ke anak Sungai Ciliwung di depan Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan. Beruntung, ia masih selamat. Ia ditolong oleh para pemulung. Setelah itu, Aldi menjadi tukang parkir hingga umurnya 20-an tahun.
Kondisi kesehatannya mulai menurun drastis dan sakit-sakitan. Ia memiliki tinggi badan 175 cm, tapi berat badannya hanya 42 kilogram. Saat membantu parkir mobil di salah satu ruko, ia dihampiri seorang teman kakaknya yang mengenali Aldi. "Gila lo, parah banget. Lo mau berobat nggak?” tanya teman kakaknya itu saat melihat kondisi fisik Aldi.
Aldi ragu karena tak memiliki uang. Tapi teman kakaknya yang ternyata bekerja di RSKO itu meminta Aldi tak memikirkan uang terlebih dulu. Yang penting adalah ia sembuh. Aldi pun kembali menjalani detoksifikasi. Hampir 18 bulan Aldi menjalani penyembuhan di RSKO.
Setelah ketergantungan obatnya hilang, hingga 2002 Aldi, yang masih di RSKO, pun ditawari mengikuti training konselor. Aldi bingung karena, untuk mengikuti training konselor, yang pelatihnya dari luar negeri, dibutuhkan uang Rp 7,5 juta. Setelah mengikuti training, Aldi pun melamar bekerja di RSKO dan diterima dengan gaji Rp 300 ribu. Sebagian uangnya ia sisihkan untuk membayar cicilan biaya training.
Dalam kurun waktu 2002-2003 itu, Balai Kasih Sayang Pamardi Siwi—cikal-bakal Balai Besar Rehabilitasi BNN—melakukan studi banding ke RSKO. Aldi-lah yang ditunjuk mendampingi untuk membangun program re-entry danculture. Melihat kepiawaian Aldi dalam membangun program, akhirnya Balai Kasih Sayang Pamardi Siwi menawarinya bekerja.
Saat itu Kepala Rehab RSKO Dyah Setya Utami pun memberikan izin kepada Aldi untuk bekerja di Balai Kasih Pamardi Siwi, yang sudah berubah menjadi Unit Pelaksana Teknis Terapi dan Rehabilitasi BNN. Mulai saat itu, Aldi menjadikan kantornya sebagai rumah. Ia dengan tekun membangun program rehabilitasi.
Pada 2006, Aldi menemukan seorang perempuan yang akan dinikahinya. Namun ia bingung untuk melamar, karena tak berani pulang ke rumah. Hampir tujuh tahun dia tak pulang. Keluarganya pun tak tahu nasibnya selama ini. Berkat dorongan sesama petugas konselor yang lebih senior, akhirnya Aldi memberanikan diri pulang ke rumah.
Ketika berdiri di depan pintu gerbang rumahnya, Aldi ragu. Tapi dengan keyakinan diri untuk menikah, ia akhirnya memberanikan diri memencet bel rumah. Tak disangka, yang keluar adalah ibunya. Setengah berlari, sang ibu menghampiri dan memanggil nama anaknya itu. Ibunya langsung memeluk badan anak lelaki keduanya itu.
“Haduh… dipeluk Ibu sekian tahun itu rasanya…. Sekian tahun di jalanan, hidupgue berat di jalanan, lalu gue bangkit dan dapat kemudahan. Gue sujud dan minta maaf saat itu,” ucap Aldi dengan nada sedikit bergetar mengenang keharuan pertemuan dengan keluarganya lagi.
Saat itu keluarga besar belum sepenuhnya yakin ia sembuh. Tapi melihat kondisi fisiknya yang bersih dan kembali normal, keluarganya terharu. Mereka semakin terkejut karena ternyata Aldi meminta keluarganya melamar sang kekasih.
Melihat Aldi yang sehat, saat itu kakak dan adiknya, yang juga pengguna narkoba, akhirnya dengan sendiri mau berjuang menghentikan kebiasaan mengkonsumsi narkoba. “Gue jadi role model. Mereka berubah sendiri karena tahu gue berubah,” tutur pria yang kini memiliki Warung Bakso Urat Jatijajar di Bogor dan satu gerai lagi di Bogor Trade Mall ini.
Sebanyak 39 konselor merupakan mantan pecandu. Penggunaan mantan pecandu untuk menangani residen pecandu ini untuk membangun komunikasi dan kepercayaan.
Harapannya, para residen yang akan disembuhkan mau mendengarkan konselor yang memang sudah berpengalaman, sehingga memudahkan residen untuk disembuhkan. “Jadi lebih dekat, lebih dipercaya, mudah diarahkan, seperti itu. Kalau yang belum pernah pakai, akan dibilang, ‘Ah, sok tahu lo, lokan belum nyoba makai, gitu,’” kata Kepala Balai Besar Rehabilitasi BNN Mohammad Ali Azhar
Ali berharap, ke depannya, akan ada program-program yang orang sehat bisa menjadi konselor dan sebagainya. Konselor mantan pecandu inilah yang akan menjadi inspirasi bagi residen untuk mau bangkit dan punya keinginan sembuh. Orang yang sebelumnya hidup jatuh kemudian mampu menyembuhkan orang yang sakit itu sangat luar biasa.
Ali mencontohkan salah satu konselor yang merupakan mantan pecandu. Ia anak orang kaya di Muara Angke, Jakarta Barat, yang memiliki 15-20 kapal. Ia setiap kali butuh narkoba menghabiskan Rp 200 juta. Akibatnya, satu per satu kapal milik ayahnya habis dijual. Setelah menjalani rehabilitasi di Balai Besar Rehabilitasi BNN, ia kini sadar dan menjadi konselor. “Kita masih membutuhkan orang-orang itu (konselor mantan pecandu), karena dedikasinya yang tinggi,” ujar Ali.
Reporter/Penulis: Gresnia F Arela
Redaktur: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim