Pondok Ilmu Pengetahuan

Sunday, July 26, 2015

KISAH KEHIDUPAN



ELEZEARD BOUFFIER
Orang pertama yang kagum terhadap Elezeard Bouffier adalah Jean Giono. Penulis terkenal asal Prancis ini kali pertama bertemu Bouffier pada 1913, ketika Perang Dunia I meletus. Di tengah kesunyian Vergon, desa terpencil dan tandus di Prancis, dia menyaksikan Bouffier seorang diri menanam pohon di desa kerontang yang dihuninya.

Semula, penulis yang hidup pada 1895-1971 itu menduga Bouffier sekadar iseng menanam pohon-pohon itu, demi membunuh kebosanannya menggembalakan kambing.

Tetapi, demi dilihatnya Bouffier sengaja menyiapkan 100 batang pohon setiap hari untuk ditanam, Giono tercenung. Dia lalu memutuskan tinggal bersama lelaki sebatang kara itu beberapa hari lagi. Toh dia datang ke desa sunyi itu demi meninggalkan kebisingan perang.

Dalam tulisannya yang terkenal, The Man Who Planted Trees, Giono yakin Bouffier tak akan bertahan lama menekuni pekerjaan menjemukan itu. Ketika perang lewat, banyak orang berlomba membuat kerusakan di muka Bumi, siapakah yang bisa bertahan lama berbuat kebaikan sendirian? Tetapi, keyakinannya salah. Pada 1945, ketika dunia sekali lagi dilanda perang, Giono datang lagi ke Vergon. Alangkah kagetnya lelaki itu ketika ia menyaksikan Bouffier tetap tekun dengan pekerjaannya semula: menanam pohon demi pohon!

Hanya saja, berbeda dibanding 32 tahun lalu, Vergon kali ini telah berubah menjadi kampung yang rindang. Jika dulu Bouffier bersusah payah mencari air untuk menyirami pohon-pohon yang meranggas, kini di kampung itu justru terdengar gemercik air di sungai kecil. Dia juga sengaja memotong semua kambingnya agar hewan-hewan itu tidak memakan daun-daun muda di hutan kesayanganya.

Pada 1953, enam tahun setelah kematian Bouffier, Giono datang untuk kali terakhir ke Vergon. Di sana tinggal sekitar 10 ribu orang, yang menjadikan Bouffier sebagai pahlawan. Padahal, ketika Bouffier mulai menanam pohon di kampung itu 40 tahun lalu, di sana cuma tinggal 12 kepala keluarga dengan segenap kesusahan.

KISAH KEHIDUPAN



Cinta yg tak pernah padam selama 60 tahun 

 Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk.

 Lalu aku baca tahun "1924". Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya.
  
Tertulis di sana, "Sayangku Michael", yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya.
  
Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah.

 Tetapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu.
  
"Operator," kataku pada bagian peneragan, "Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?"

Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, "Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada anda." Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit.

Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, "Ada orang yang ingin berbicara dengan anda." Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia
 mengetahui seseorang bernama Hannah.
  
Ia menarik nafas, "Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!"
  
"Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?" tanyaku.
 "Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada."
  
Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. 

Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.

 "Semua ini tampaknya konyol," kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu?
  
Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada.
Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, "Ya, Hannah memang tinggal bersama kami."
Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah.
"Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut, "bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah."

 Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael."  Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, "Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia
sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu."  "Ya," lanjutnya.
Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. "Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,......."
Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, "......katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda," katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, "aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael."
  
Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, "Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?"
Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, "Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini."
Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya.
Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu.
Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini."

"Siapakah Pak Goldstein itu?" tanyaku. Tanganku mulai gemetar. "Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar." 

Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga.
Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, "Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan."
Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku.
Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet.
Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, "Oh ya, dompetku hilang!" Perawat itu berkata, "Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?"
Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein.
Ia tersenyum gembira. Katanya, "Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore.
Aku akan memberimu hadiah."
"Ah tak usah," kataku. "Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini."

 Senyumnya langsung menghilang. "Kamu membaca surat ini?"
 "Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang." Wajahnya tiba-tiba pucat. "Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya?
Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku," ia memohon.
"Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda mengenalnya,  kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, "Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok." Ia menggenggam tanganku, "Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu mencintainya."

 "Michael," kataku, "Ayo ikuti aku." Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan.

 "Hannah," kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk.
 "Apakah anda tahu pria ini?" Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun.
Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, "Hannah, ini aku, Michael.
Apakah kau masih ingat padaku?"
Hannah gemetar, "Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!" Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan.
 Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami.
 "Lihatlah," kataku. "Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia
 berkehendak, maka jadilah."

 Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu.
 "Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkawinan di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!" Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta.
Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka.
Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.

Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun.

KISAH KEHIDUPAN



Dua Sisi Sifat Manusia

            Seorang anak bertanya kepada ayahnya mengapa dia mudah sekali tersinggung, gampang marah, tdk tenang dan selalu punya prasangka buruk terhadap orang lain. Dia ingin tahu cara mengubah perangainya…
            Sang ayah berkata, bahwa dalam diri manusia ada dua "Penjaga". Penjaga putih dan Penjaga hitam. Penjaga hitam selalu berpikiran negatif, mudah marah dan selalu punya prasangka buruk. Sedang Penjaga putih selalu berpikiran positif, baik hati, dan suka hidup damai. Setiap hari kedua penjaga ini selalu berkelahi dalam hati manusia.
            Lalu siapakah yang menang? tanya si anak.
            Yang menang adalah yg setiap hari kau beri makan, kata sang ayah. Sebuah contoh, saat ujian tiba, penjaga putih akan menyuruh kamu belajar dengan tekun tetapi sebaliknya penjaga hitam akan menyuruh kamu untuk menyontek teman sebelah kamu. Anak tersebut mengangguk-angguk mendengarkan nasehat ayahnya. Sebelum meninggal, almarhum ayah saya pernah berkata :
            "Diri kita adalah apa yang kita pikirkan. Kita akan menjadi seperti apa yang kita pikirkan tentang diri kita. Mengapa pikiran itu begitu besar pengaruhnya?. Ternyata pikiran-pikiran yg kita masukkan dalam diri kita akan mempengaruhi perilaku kita sehari-hari, prilaku akan membentuk sifat, sifat akan membentuk kebiasaan dan kebiasaanlah yang akan menentukan nasib  kita".
            Memang nasib manusia berada dan ditentukan oleh Tuhan, tetapi manusia juga mempunyai pilihan untuk menentukan nasibnya sebelum hal itu terjadi. Karena Tuhan tidak akan merubah nasib umat-Nya kalau manusia itu sendiri tidak mau merubahnya.
            Jadi mulai saat ini masukkanlah pikiran-pikiran positif yang bermanfaat dalam diri kita, buanglah jauh-jauh rasa iri hati, dendam, benci dan pikiran negatif lainnya yang bisa merugikan kita. Janganlah kita memberi makan kepada "penjaga hitam" yang ada dalam diri kita.
            Setiap pagi setelah bangun tidur dan sebelum memulai aktifitas, ucaplah syukur dan mohon kepada Tuhan agar "Dia" selalu memberikan jalan terang bagi kita, membimbing kita kepada hal-hal yang baik. Karena percayalah bahwa setiap langkah yang kita ambil atas ijin-NYA, maka akan membuahkan hasil yang baik.
            Ingatlah bahwa : "Jika kita menanam anggur, tidak mungkin kita menuai duri”

MINYAK DAN GAS BUMI



SAATNYA MENJADI TUAN DI  RUMAH SENDIRI

Sebagai satu satunya badan usaha milik negara di sekto minyak dan gas bumi, PT Pertamina (Persero) merasa ironis. Kontribusi perusahaan yang 100 persen sahamnya minik negara hanya 22 persen terhadap seluruh produksi minyak siap jual di Indonesia. Perusahaan pelat merah ini belum merasa menjadi tuan di rumah sendiri.

Mari kita tengok angka angka berikut ini. Realisasi produksi minyak siap jual (lifting) 2014 milik Pertamina hanya 188.193 barrel per hari (bph), Jumlah itu berasal dari tiga anak perusahaan Pertamina yakni PT Pertamina EP 128.390 bph, Pertamina Hulu Energi NWOJ 41.300 bph, dan Pertamina Hulu Energi WMO 18.503 bph.

Jaumlah itu jauh di bawah PT Chevron Pasific Indonesia (yang berinduk di Amerika Serikat) sebanyak 280.000 bph atau menjadi pemuncak daftar lifting minyak di Indonesia. 

Belum lagi Total Exploration dan Produktion Indonesia ( yang berinduk di Perancis) yang liftingnya mencapai 62.679 bph. Ada lagi Mobil Cepu ltd (Amerika Serikat) dengan lifting sebanyak 99.642 bph dan yang lainnya

Ringkasnya perusahaan asing Berjaya di Tanah Air dibandingkan dengan Pertamina yang notabene milik anak negeri. 

Kesempatan bagi Pertamina jadi jago kandang datang setelah mendapat restu pemerintah untuk melanjutkan penggelolaan Blok Mahakam, sebuah wilayah kerja migas di Kalimantan Timur, mulai 1 Januari 2018. Sejak 1967 blok itu dikuasi Total Exploration dan Production Indonesia dan Inpex Cprporation. Kontrak Blok Mahakan berakhir pada 31 Desember 2017. Di perkirakan, di blok itu masih ada cadangan minyak bumi sekitar 200 juta barrel dan gas bumi sebanyak 2 triliun kaki kubik. Dengan cadangan sebanyak itu, wajar jika banyak pihak ingin meminang Blok Mahakam. Bahkan, Total dan Inpex pernah mengajukan proposal perpanjangan operasi kepada pemerintah pada Februari 2013.

Peramina mengaku siap 1--- persen menggelola Blok Mahakam. Yang persoalan, masa transisi agar Pertamina diberi kesempatan masuk ke Blok Mahakam untuk turur terlibat menggelola sebelum masa kontrak habis. Trandisi ini penting agar tidak ada penurunan atau yang lebih parah penghentian produksi saat blok ini diambil alih Pertamina.

Posisi Pertamina dan pemerintah lemah lantaran tidak ada aturan yang menyatakan adanya masa transisi. Tak ada juga undang undang yang menyebutkan setiap wilayah kerja migas yang habis masa kontrakannya harus jatuh ke tangan Pertamina. 

Angin segar datang lewat Revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang tengah di godok pemerintah. Lewat Revisi Undang Undang tersebut, pemerintah ingin memberikan keistimewaan kepada Pertamina lewat penguasaan wilayah kerja migas yang segera habis masa kontraknya maupun wilayah kerja migas yang baru.

Senada dengan Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dibentuk. Menteri Energi dan Sumber Daya Miberal Sudirman Said, timi ini juga menginginkan Pertamina mendapat hak istimwa. Sudha sewajarnya, sebab bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesarnya besarnya untuk kemakmuran rakyat. Itu adalah amanat konstitusi kita.

Jika niat baik itu terwujud, Pertamina tak perlu antre mengajukan proposal usulan penggelolaan wilayah kerja migas kepada pemerintah. Sudah selayaknya Pertamina menjadi tuan di rumah sendiri.