Tradisi Lopis Raksasa Tak Bisa
Dihilangkan
Radar Pekalongan - July 14, 2016
BEREBUT – Warga dari Pekalongan, dan
sekitarnya berebut lopis raksasa di Krapyak gang 8. Tradisi Syawalan dan lopis
raksasa harus terus dilestarikan.
M. AINUL ATHO’/RADAR PEKALONGAN
M. AINUL ATHO’/RADAR PEKALONGAN
Sempat Beredar Isu Tak Ada Lopis Raksasa
KOTA – Ribuan warga dari Pekalongan dan sekitarnya, langsung
menyerbu lopis raksasa setinggi 177 sentimeter usai rombongan Walikota dan FKPD
meninggalkan lokasi, Rabu (13/7).
Mereka rela berdesakan demi mendapatkan potongan lopis.
Bahkan bambu hingga daun yang digunakan untuk membungkus lopis.
Tradisi berebut potongan lopis raksasa, sudah berjalan
selama puluhan tahun. Sempat beberapa kali tidak dibuat atau berpindah lokasi
pembuatan, lopis raksasa kembali lagi dibuat dan dikelola oleh panitia di
Remaja Musholla Darunna’im di Krapyak gang 8.
Tahun ini pun, sempat beredar isu di masyarakat yang
mengatakan bahwa lopis raksasa ditiadakan. Sebabnya, kondisi banjir rob yang
selama beberapa bulan terakhir menggenangi wilayah utara termasuk Krapyak.
“Sempat muncul kabar burung yang menyebutkan lopis tidak
ada karena banjir rob. Dalam kesempatan ini kami jawab, benar krapyak banjir,
tapi banjir lopis,” kata perwakilan panitia, M Rokhul Isti saat menyampaikan
laporannya.
Menurut Rokhul, syawalan dan lopis terlahir dari gagasan
para pendahulu, dan para kyai yang kemudian tumbuh menjadi tradisi dengan nilai
luhur yakni saling memaafkan dan silaturahmi saat Syawalan. “Lopis raksasa
tidak akan pernah mati. Lopis raksasa is everything,” tegas dia lagi.
Syawalan dan lopis raksasa, lanjut Rokhul, merupakan dua
hal yang tidak bisa dipisahkan. Dia menyatakan, masyarakat Kota Pekalongan
sudah seharusnya merasa bangga karena memiliki sebuah tradisi yang kental
dengan nuansa religi. “Harapannya, generasi kedepan terus ikut melestarikan,
dan menjaga bersama tradisi ini,” katanya.
Hal yang sama disampaikan sesepuh Krapyak, KH Zaenudin
Ismail.
Saat menyampaikan sambutan, dia menyatakan bahwa ada tiga tradisi
religi di Kota Pekalongan yang tidak dapat dihilangkan. Yakni tradisi
Sya’banan, tradisi Syawalan dan tradisi lopis raksasa. Ketiganya, kata Kyai
Zaenudin, muncul dari sejarah yang panjang.
“Lopis mulai muncul pada tahun 1950an atau tepatnya 1956.
Lopis raksasa dicetuskan tokoh masyarakat, dan pemuda di Krapyak. Saya ingat
beberapa diantaranya seperti Ismail, Sanafi, Khanafi, Nurhan dan Anas,”
tuturya.
Dibuatnya lopis raksasa, lanjut Kyai Zaenudin, karena
masyarakat yang melihat banyaknya warga yang bertamu, dan berkunjung ke Krapyak
saat Syawalan. Melihat hal itu, dibuatlah lopis raksasa untuk menjamu warga
yang berkunjung. “Lopis ini awalnya dipotong oleh tokokh masyarakat, Lurah,
Camat hingga Walikota,” katanya.
Keikhlasan masyarakat Krapyak dalam membuat lopis
raksasa, membuat lopis raksasa selalu kembali ke lokasi awal pembuatannya.
Padahal, lopis raksasa sempat berpindah-pindah lokasi pembuatan, meskipun masih
di lingkungan Krapyak. “Sempat muter kemana-mana tapi akhirnya kembali lagi
kesini,” ucapnya lagi.
Sementara itu, Walikota Pekalongan, A Alf Arslan Djunaid
juga mengaku bahwa memang penyelenggaraan lopis raksasa kali ini sempat
diganggu rob. Namun berkat kerjasama masyarakat, Pemkot hingga DPRD, dapat
dilakukan penanganan darurat sehingga dapat meminimalisir banjir rob yang
terjadi. “Berbagai produk dan tradisi asli Pekalongan harus terus
dilestarikan,” ucapnya.
Mengenai penangaan rob yang akan dilakukan, Walikota
menjelaskan bahwa sudah ada anggaran sebesar Rp50 miliar dari provinsi dan akan
diberikan dana pendampingan dari Pemkot Pekalongan sebesar Rp20 miliar dan dari
APBN pusat sebesar Rp30 miliar. Melalui anggaran tersebut, akan dilakukan
berbagai langkah penanganan yang komperhensif.
Usai pemotongan lopis di gang 8, Walikota dan rombongan FKPD bergeser untuk melakukan pemotongan lopis raksasa di Krapyak gang satu dan tiga (Saga).(nul)
Larung Kepala Kerbau, Bentuk Rasa
Syukur Nelayan Batang
Radar Pekalongan - Rabu, 26 Oktober
2016
BATANG - Sebanyak 20 Kapal milik nelayan dan Polisi Air yang berisi
ratusan orang pada Selasa (25/10) ikut serta melakukan prosesi Nyadran. Prosesi
tersebut berupa pelarungan sesaji untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah atas hasil laut yang melimpah.’
Prosesi Nyadran itu sendiri dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari para nelayan dan semua elemen masyarakat yang berkecimpung di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Klidang Lor, Batang. Nyadran atau sedekah laut ini berisi persembahan dua Kepala kerbau, satu di tanam di daratan dan satunya lagi untuk dilarung bersama hasil bumi ke tengah laut.
Prosesi Nyadran itu sendiri dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari para nelayan dan semua elemen masyarakat yang berkecimpung di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Klidang Lor, Batang. Nyadran atau sedekah laut ini berisi persembahan dua Kepala kerbau, satu di tanam di daratan dan satunya lagi untuk dilarung bersama hasil bumi ke tengah laut.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Batang, Teguh
Tarmujo menuturkan, masyarakat sekitar percaya dengan dilarungnya kepala
kerbau, maka hasil tangkapan mereka akan melimpah. Pada kegiatan itu mereka
juga manaruh harapan agar selama berada di laut bisa diberikan keselamatan
hingga sampai kembali ke darat.
“Nyadran atau Sedekah Laut ini merupakan tradisi yang sudah ada pada ratusan tahun yang lalu. Kegiatan ini diadakan setiap tahunnya yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur atas rejeki dan keberkahan yang telah diterima dari hasil laut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, juga agar dijauhkan dari berbagai macam cobaan dan bahaya ketika melakukan aktifitas di laut, sehingga saat kembali pulang melaut juga dalam keadaan selamat," jelas Teguh.
Teguh berharap agar setelah acara Nyadran para Nelayan tetap diberikan rejeki yang halal dari hasil laut. Selain itu, dirinya juga berharap agar pemerintah bisa memberikan kebijakan yang menunjang terhadap kesejahteraan nelayan, supaya nelayan dapat merasa nyaman dalam menjalankan aktifitasnya dilaut.
Untuk acara itu sendiri panitia menyiapkan anggaran Rp60 juta yang didapat dari iuran nelayan, dari sumbangan HNSI, serta ada sumbangan dari Himpunan Bakul Ikan, dan juga para pemilik kapal.
Camat Batang, Drs Supriyono MSi menambahkan, selama ini para nelayan tidak menanam benih ikan di laut, namun selalu diberi hasil tangkapan dengan begitu melimpah. "Sehingga melalui kegiatan ini kita ingin mensyukuri nikmat itu dengan memberi makan ikan disana," tandasnya. (ap6)
“Nyadran atau Sedekah Laut ini merupakan tradisi yang sudah ada pada ratusan tahun yang lalu. Kegiatan ini diadakan setiap tahunnya yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur atas rejeki dan keberkahan yang telah diterima dari hasil laut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, juga agar dijauhkan dari berbagai macam cobaan dan bahaya ketika melakukan aktifitas di laut, sehingga saat kembali pulang melaut juga dalam keadaan selamat," jelas Teguh.
Teguh berharap agar setelah acara Nyadran para Nelayan tetap diberikan rejeki yang halal dari hasil laut. Selain itu, dirinya juga berharap agar pemerintah bisa memberikan kebijakan yang menunjang terhadap kesejahteraan nelayan, supaya nelayan dapat merasa nyaman dalam menjalankan aktifitasnya dilaut.
Untuk acara itu sendiri panitia menyiapkan anggaran Rp60 juta yang didapat dari iuran nelayan, dari sumbangan HNSI, serta ada sumbangan dari Himpunan Bakul Ikan, dan juga para pemilik kapal.
Camat Batang, Drs Supriyono MSi menambahkan, selama ini para nelayan tidak menanam benih ikan di laut, namun selalu diberi hasil tangkapan dengan begitu melimpah. "Sehingga melalui kegiatan ini kita ingin mensyukuri nikmat itu dengan memberi makan ikan disana," tandasnya. (ap6)
Fenomena Artikel diatas. Menurut Anda, Apa yang menyebabkan
masyarakat tetap melestarikan tradisi dan tradisinya tidak akan pernah mati?
Bagaimana Penilaianmu terhadap fenomena masyarakat yang
memiliki tradisi di artikel diatas?
a.
Setuju/Baik
b.
Tidak
Setuju/Buruk
Menurut Anda, Bagaimana Cara Dakwah dengan kondisi
masyarakat yang memiliki tradisi di artikel diatas?