Pondok Ilmu Pengetahuan

Wednesday, February 18, 2015

MASALAH



KELISTRIKAN
MASALAH FUNDAMENTAL TERUS MELILIT

Persoalan listrik tidak hanya terkait dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur pembangkit tenaga listrik , tetapi juga masalah fundamental dan teknis yang harus dipecahkan. Apalagi, pemerintah memiliki target raksasa , yaitu membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt dalam lima tahun mendatang.

Pembangkit yang sudah terbangun ironisnya kerap belum bisa berfungsi. Mengapa? Tidak ada pasokan sumber energy primer seperti gas. Wilayah wilatah yang selama ini dikenal sebagai daerah produsen energy, seperti Natuna, Kepulauan Riau (Kperi), Sumatera, dan Kalimantan, jutru terus dihantui krisis listrik yang akut karena pasokan gas dan batubara tidak tersedia.

Menteri Perenanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapenas Andrinof Chaniago mengakui, krisis listrik terjadi karena di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di daerah lumbung energy “ Seperti Ayam mati di lumbung padi” katanya. Hal itu terjadi antara lain karena sumbere engeri, yaitu gas atau batu bara, banyak diekspor dibandingkan dengna memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Keberpihakan terhadap kebutuhan dalam negeri merupakan hal fundamental. Politik energy yang memprioritaskan kepentingan nasional belum sepenuhnya terimplementasi di lapangan. Mungkin tidak ada juga intrumen yang dalam “memaksa” produsen gas memprioritaskan kebutuhan dalam negeri.

Gas dari perut bumi Natuna, Kepri Misalnya lebih banyak diekspor ke Singapura. Pembangunan intansi pipa gas dari Natuna ke Batam, Kepri untuk menjami suplai gasdi dalam negeri terutama di wilayah Kepri dan Sumatera, belum dilakukan sampai sekarang.

Pemerintah sebenarnya perlu membangun intansi pipa gas yang menghubungkan jaringan pipa gas dari Natuna yaitu West Natuna Transport System, ke jaringan pipa gas (tie in subsea) di Pulau Pemping, Kepri.

Kewajiban memenuhi Pasar dalam negeri itu sebenarnya diatur dalam Pasal 22 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumu. Pasal itu menyebutkan, badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen dari hasil produksi minyak bumi dan atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sayangnya, siapa yang dapat menjami produsen gas mau menyalurkan gas paling banyak 25 persen dari hasil produksi untuk kebutuhan dalam negeri? Dengan ketentuan itu, badan usaha atau produsen migas dapat saja hanya menyerahkan 1 persen dari hasil produksi migas untuk kebutuhan domestic.

Salah satu dampak tidak adanya jaminan pasokan energy untuk pembangkit listrik adalah kontrak gas jangka pendek dan dapat dihentikan setiap saat. Masalah ini menjadi masalah teknis yang sulit diselesaikan di lapangan. Di sisi lain, Singapura yang mendapat jaminan pasokan gas dapat melakukan kontrak jangka panjang secara terus menerus dan tidak dapat diperhentikan.

Masalah teknis lainnya adalah skema bisnis atau proses negosiasi harga jual gas sebagai bahan energy primer dan harga jual listrik, antara produsen gas, investor ketenagalistrikan dan PLN.

Untuk menangani masalah itu, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan Harga patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) melalui Pemilihan Lnagsung dan Penunjukan langsung.

Akan tetapi Peraturan Meteri ESDM No 3/2015 itu belum dapat sepenuhnya menjadi solusi, terutama bagi daerah daerah yang dikelola oleh anak perusahaan PT PLN (Persero) seperti PT Pelayanan Listrik Nasional (PLN , Batam. Peraturan Meteri ESDM 3/2015 itu hanya mengatur PT PLN (Persero) dan tidak mengikat pada naka perusahaan PT PLN Batam.

Akibatnya persoalan negosiasi harga jual semakin sulit dilakukan, apalagi pemerintahh daerah memiliki pernag penting menentukan harga jual listrik bersama DPRD. Dengan kondisi itu daerah perbatasan seperti Kepri dan Wilayah lain di Indonesia terlilit persoalan fundamental dan teknis yang tak berkesudahan (Feery Santoso)

Sumber Kompas

No comments:

Post a Comment