KELISTRIKAN
MASALAH FUNDAMENTAL TERUS MELILIT
Persoalan listrik tidak hanya terkait dengan kebutuhan
pembangunan infrastruktur pembangkit tenaga listrik , tetapi juga masalah
fundamental dan teknis yang harus dipecahkan. Apalagi, pemerintah memiliki
target raksasa , yaitu membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt dalam lima
tahun mendatang.
Pembangkit yang sudah terbangun ironisnya kerap belum
bisa berfungsi. Mengapa? Tidak ada pasokan sumber energy primer seperti gas.
Wilayah wilatah yang selama ini dikenal sebagai daerah produsen energy, seperti
Natuna, Kepulauan Riau (Kperi), Sumatera, dan Kalimantan, jutru terus dihantui
krisis listrik yang akut karena pasokan gas dan batubara tidak tersedia.
Menteri Perenanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapenas
Andrinof Chaniago mengakui, krisis listrik terjadi karena di sejumlah wilayah
di Indonesia, termasuk di daerah lumbung energy “ Seperti Ayam mati di lumbung
padi” katanya. Hal itu terjadi antara lain karena sumbere engeri, yaitu gas
atau batu bara, banyak diekspor dibandingkan dengna memenuhi kebutuhan dalam
negeri.
Keberpihakan terhadap kebutuhan dalam negeri merupakan
hal fundamental. Politik energy yang memprioritaskan kepentingan nasional belum
sepenuhnya terimplementasi di lapangan. Mungkin tidak ada juga intrumen yang
dalam “memaksa” produsen gas memprioritaskan kebutuhan dalam negeri.
Gas dari perut bumi Natuna, Kepri Misalnya lebih
banyak diekspor ke Singapura. Pembangunan intansi pipa gas dari Natuna ke
Batam, Kepri untuk menjami suplai gasdi dalam negeri terutama di wilayah Kepri
dan Sumatera, belum dilakukan sampai sekarang.
Pemerintah sebenarnya perlu membangun intansi pipa gas
yang menghubungkan jaringan pipa gas dari Natuna yaitu West Natuna Transport
System, ke jaringan pipa gas (tie in subsea) di Pulau Pemping, Kepri.
Kewajiban memenuhi Pasar dalam negeri itu sebenarnya
diatur dalam Pasal 22 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumu. Pasal
itu menyebutkan, badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling
banyak 25 persen dari hasil produksi minyak bumi dan atau gas bumi untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sayangnya, siapa yang dapat menjami produsen gas mau
menyalurkan gas paling banyak 25 persen dari hasil produksi untuk kebutuhan
dalam negeri? Dengan ketentuan itu, badan usaha atau produsen migas dapat saja
hanya menyerahkan 1 persen dari hasil produksi migas untuk kebutuhan domestic.
Salah satu dampak tidak adanya jaminan pasokan energy
untuk pembangkit listrik adalah kontrak gas jangka pendek dan dapat dihentikan
setiap saat. Masalah ini menjadi masalah teknis yang sulit diselesaikan di
lapangan. Di sisi lain, Singapura yang mendapat jaminan pasokan gas dapat
melakukan kontrak jangka panjang secara terus menerus dan tidak dapat
diperhentikan.
Masalah teknis lainnya adalah skema bisnis atau proses
negosiasi harga jual gas sebagai bahan energy primer dan harga jual listrik,
antara produsen gas, investor ketenagalistrikan dan PLN.
Untuk menangani masalah itu, Pemerintah menerbitkan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian Tenaga
Listrik dan Harga patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero)
melalui Pemilihan Lnagsung dan Penunjukan langsung.
Akan tetapi Peraturan Meteri ESDM No 3/2015 itu belum
dapat sepenuhnya menjadi solusi, terutama bagi daerah daerah yang dikelola oleh
anak perusahaan PT PLN (Persero) seperti PT Pelayanan Listrik Nasional (PLN ,
Batam. Peraturan Meteri ESDM 3/2015 itu hanya mengatur PT PLN (Persero) dan
tidak mengikat pada naka perusahaan PT PLN Batam.
Akibatnya persoalan negosiasi harga jual semakin sulit
dilakukan, apalagi pemerintahh daerah memiliki pernag penting menentukan harga
jual listrik bersama DPRD. Dengan kondisi itu daerah perbatasan seperti Kepri
dan Wilayah lain di Indonesia terlilit persoalan fundamental dan teknis yang
tak berkesudahan (Feery Santoso)
Sumber Kompas
No comments:
Post a Comment