Pondok Ilmu Pengetahuan

Saturday, January 31, 2015

INSPIRASI

Sebuah Resensi Buku Bukan Sarjana Muda

Oleh: Putri Khalidah

Zaman sekarang siapa yang tidak ingin berkuliah menjadi seorang sarjana? Banyak sekali ribuan lulusan SMA/SMK yang berbondong-bondong menuju perguruan tinggi negeri maupun swasta, untuk menyemai sebuah titel sarjana dan selembar ijazah. Lembar yang kebanyakan orang percayai akan membawa mereka menuju profesi pekerjaan berpenghasilan, sehingga mereka bisa bertahan hidup. Zaman sekarang, sudah banyak jalur-jalur yang memudahkan setiap mahasiswa untuk mendapatkan tempat menempuh pendidikan sarjana. Beasiswa bertebaran di mana-mana, jalur-jalur masuk perguruan tinggi pun banyak variasinya. Sudah banyak kemudahan untuk menempuh kuliah sarjana, puluhan tahun pasca kemerdekaan.

Rantau Kwala Simpang, Aceh Timur. Tepatnya di desa Sidodadi. Sidodadi? Ya, sebuah pemukiman yang ditinggali oleh suku Jawa pada masa pasca kemerdekaan. Untuk melaksanakan pembangunan Negara Indonesia, pemerintah mengadakan pemerataan sumber daya manusia dari Jawa menuju pulau-pulau yang sedikit penghuni. Salah satunya daerah Aceh Timur ini. Seorang bocah lelaki titisan Padang yang tumbuh besar sampai berusia dua belas tahun di Aceh. Achjar Chalil (ejaan lama), namanya. Lahir di Aceh tahun 1954. Di kampungnya, dia biasa bermain bersama teman-temannya. Di Sawah, Pesisir, dan di

tempat-tempat belahan bumi Aceh Timur yang masih asri. Bersekolah di Sekolah Rakyat (SR), yang mana saat itu ketegasan guru dalam mendidik masih kaku, tegak lurus bagai tiang bendera. Ketika seorang anak yang dididik tidak mampu mencapai standar nilai, maka akan tinggal kelas – sekali pun anak tersebut merupakan anak guru. Achjar sangat menikmati pendidikan sekolah dasarnya. Sangat bersemangat sekali ingin melanjutkan ke jenjang studi selanjutnya.

Kabar tak disangka datang dari percakapan Ayah dan kakaknya. Bahwa orangtuanya sedang kesulitan dana, Achjar terancam untuk tidak disekolahkan di SLTP. Karena haus akan ilmu pengetahuan, dan tahu nilai penting pendidikan. Achjar nekat mengajak adiknya untuk lari dari rumah. Pergi ke Lhok Sukon, ikut dengan ibunya. Bersama ibunya, dia melanjutkan sekolah sambil berjualan es cendol di stasiun kereta, untuk menambah penghasilan.

Di stasiun, tidak sengaja bertemu pamannya. Pamannya mengajaknya pergi ke Medan. Hingga akhirnya dia melanjutkan pendidikan SLTP, dan STM di Medan. Saat bersekolah pun selalu kesulitan dalam hal dana. Sambil menempuh pendidikan, Achjar juga menyambi menjadi tukang cuci piring, tukang becak, bekerja di bengkel sepeda dan lainnya. Sungguh sulit jalan hidup yang dihadapi Achjar untuk menempuh pendidikan, jalan hidup yang harus dilaluinya, kisah pertemanannya, terus berjuang untuk bertahan mendapatkan ilmu. Lahan pendidikan yang sangat terbatas dan sangat mahal ketika pasca kemerdekaan.

Setelah lulus STM Achjar menjadi pekerja lepas beberapa bulan, dan kemudian merantau ke Jakarta. Ikut abangnya menjual sabun keliling. Melihat kondisi banyak pelajar sekolah yang bolos di Jakarta, membuat Achjar bertekad untuk menjadi seorang guru. Namun, untuk menjadi seorang guru haruslah menempuh pendidikan bangku kuliah minimal D1, saat itu. Maka, berbagai pendidikan guru ditempuh oleh Achjar. Tekadnya untuk menjadi guru didukung penuh oleh abangnya.

Saat menjadi guru SMP, Achjar bertemu dengan seorang dermawan yang menawarinya berkuliah D3 di Bandung. Dalam keadaan hamil, istrinya mengizinkan Achjar untuk menempuh pendidikan yang jaraknya jauh dari tempat mereka tinggal bersama. Setelah lulus kuliah D3, Achjar menjadi guru STM jurusan elektronika di Jakarta.

Kiprahnya menjadi seorang guru, memekarkan sayap kemana-mana. Bekerja sama dengan diknas pendidikan, berkerabat dengan menteri, memberikan pelatihan mengenai kurikulum dan kepengajaran di berbagai daerah. Sampai menjadi ketua Asosiasi Guru Penulis Indonesia. Karena posisinya yang lulusan D3, tapi sudah banyak melatih lulusan S1 dan S2, rekan kerjanya, Bapak Hudaya (ketua Diknas Pendidikan Banten) memutuskan untuk membiayai kuliah sarjana untuk Achjar. Achjar menjadi seorang sarjana di umurnya yang ke-50 tahun.

Dari sini dapat kita lihat perjalanan seorang lelaki rantau yang berusaha mendapatkan pendidikan demi menjadi seorang yang ahli. Lulusan D3 yang sudah mampu mengisi berbagai pelatihan guru dalam mendidik. Bersungguh-sungguh menggunakan waktunya dalam belajar. Menjadi seorang pembelajar untuk menuai keahlian.

Seorang lelaki tua bercucu masih mau belajar untuk mendidik, tapi banyak pemuda zaman sekarang yang mengejar sarjana hanya untuk mendapat ijazah. Tidak memiliki keahlian, jadi pengangguran. Sungguh disayangkan apabila kita –para mahasiswa—yang sudah dalam keberuntungan mampu bersekolah tanpa harus berpindah-pindah kota, mampu menempuh kuliah sarjana tanpa harus menunggu bertahun-tahun lamanya untuk menjadi seorang sarjana. Tapi, kebanyakan dari kita masih saja menyia-nyiakan waktu. Tidak belajar dengan bersungguh-sungguh, demi menjadi seorang yang ahli. Tidak pula membuat perencanaan yang jelas. Menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dibandingkan meningkatkan kualitas diri.

Buku Bukan Sarjana Muda ini mengajari kita arti penting sebuah pendidikan dalam kehidupan, mengajari kita untuk senantiasa bersyukur dengan apa yang kita miliki dalam hidup ini. Sebagai seorang warga negara yang baik, harusnya kita para mahasiswa, berkuliah itu untuk mengejar keahlian, bukan mengejar nilai dan ijazah saja. Karena, dengan keahlian yang kita miliki, kita mampu berkontribusi untuk masyarakat dan Negara. Berpartisipasi dan bekerja sama untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik, sehingga kita mampu hidup sejahtera bersama-sama.

Semoga kita semua bisa menjadi seorang pembelajar yang sejati. Pembelajar yang  senantiasa mengejar keahlian, sampai waktu kita habis di dunia. Aamiin.

No comments:

Post a Comment